Pada hari Rabu tanggal 13 Oktober 2010, YM Sultan Adji Sulaiman Raja Kutai Kertanegara ke 18 memerintah pada pertengahan abad 18, mengingatkan supaya segera melaksanakan perintah untuk ritual labuh ke puncak Gunung Merapi. Tak boleh mundur lagi. Batas akhir yang ditentukan adalah hari Jumat Legi, tanggal 15 Oktober 2010. Secara logika, pada tanggal 13 Oktober 2010 saat itu status Gunung Merapi sudah berada pada status siaga (satu tingkat di atas status waspada, satu tingkat di bawah status tertinggi awas), tak ada orang yang bersedia naik ke Merapi jika tak ingin mati konyol. Namun apa boleh buat, sudah merupakan dawuh (perintah) dari para leluhur agung, saya percaya 100% leluhur, tak ada perintah leluhur yang membuat celaka diri kita. Gaib pun tak pernah bohong. YM Sultan Sulaiman berkata,”laksanakan segera nak, tidak baik menunda perintah, karena akan melawan kodrat, jika Merapi kelamaan menahan letusan akan sangat berbahaya!. Apa yang kamu lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri, melainkan untuk kepentingan orang banyak, bangsa ini di waktu yad. Sendiko dawuh Yang Mulia, siap laksanakan segera pada hari Jumat Legi besok, demi lahirnya Satriyo Pambukaning Gapura. Kasihan rakyat sudah banyak yang menjadi korban.
Tampilnya satriyo baru, tentu membawa konsekuensi turunnya “satriyo” lama “di tengah jalan”. Musti bagaimana lagi, jika seorang “satriyo” sudah tidak disengkuyung oleh para leluhur besar dan para gaib bangsa ini, karena tiada menghargai kearifan lokal, tidak menghargai pusaka nusantara. Itu sama saja tidak berbakti kepada bangsa dan para leluhur besarnya sendiri. Alias menjadi generasi yang durhaka. Tentu saja akan selalu membawa musibah dan bencana berkepanjangan tiada berhenti. Ibarat seseorang yang sakit parah, sembuhnya kalau sudah mati. Maka, musibah dan bencana baru akan reda jika sang satriyo lama itu telah lengser keprabon. Dengan penuh maaf. Apa adanya terpaksa harus saya sampaikan.
Jumat Legi sore, ditemani 2 orang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kami naik ke puncak Merapi dalam cuaca hujan sangat lebat dan berkabut. Benar saja, gunung paling aktif di dunia itu seolah memberikan jeda tidak bergolak. Walau masih terasa saat tanah bergetar akibat gerakan magma dari dalam perut bumi. Kabar dari posko Merapi saat itu statusnya pun ternyata turun menjadi waspada. Gunung Merapi mirip dengan makhluk hidup, kali ini bagaikan anak kecil sedang merengek lalu tiba-tiba diam karena mendapat makanan kesukaannya. Selesai acara labuh, hingga Sabtu siang tanggal 16 Oktober tiba-tiba Merapi seperti mendapat komando, mulai bergolak lagi dengan 246 kali gempa vulkanik. Hari minggu statusnya naik kembali menjadi siaga, lalu seminggu kemudian statusnya naik menjadi awas. Perubahan status Merapi yang sangat cepat dan belum pernah terjadi selama ini.
MEMBANGUN SINERGI DENGAN KOSMOS
Sedikit set back membahas soal makna esensial ritual labuh. Ritual labuh (labuhan) atau larung sesaji bukan sekedar latah ikut-ikutan saja. Larung sesaji yang melibatkan ubo rampe dan tata cara adalah soal teknis saja. Lebih dari itu orang harus memahami hakekatnya. Yakni sebagai upaya manusia memahami dan menghormati alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya sebagai sesama ciptaan tuhan, derivasi kebijaksanaan alam semesta. Acara labuh sebagai salah satu wujud adanya kesadaran kosmos, yakni tanggungjawab manusia tanpa kecuali untuk selalu hamemayu hayuning bawana. Menjaga dan melestarikan alam semesta serta mengambil manfaat secara proporsional tanpa meninggalkan kerusakan. Kesadaran itu menjadikan kita sebagai sosok manusia kosmologis. Berkesadaran spiritual tinggi yang selalu selaras, sinergis dan harmonis dengan kodrat (hukum) alam semesta. Satriyo yang berjiwa kosmologis akan selalu mendatangkan berkah dan anugrah bagi lingkungan alam dan seluruh isinya. Berkah dan anugrah agung bagi keluarga, orang lain, dan masyarakat yang dipimpinnya.
Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap wilayah, atau lingkungan alam, memiliki tata dan cara masing-masing. Beda masyarakat, berbeda pula adat istiadat, tradisi, dan budayanya. Itulah makna kearifan lokal, yakni nilai luhur hasil interaksi manusia dengan lingkungan alamnya yang kemudian melahirkan kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga di dalam nilai kearifan lokal (local wisdom) terkandung kesadaran akan jati diri suatu bangsa. “Jati diri” yang meliputi karakter geografi, geologi, dan karakter sosialnya. Bagi siapa yang lebih memahami “jati diri” tersebut, seseorang dapat bersikap lebih arif dan bijaksana dalam menjalani tata kosmos kehidupan ini. Alias menjadi manusia yang tunduk patuh, manembah kepada tuhan.
TIGA TITIK SENTRA SPIRITUALMerapi-Kraton-Laut Selatan merupakan tiga titik sentral dalam spiritual Jawa khususnya Jogjakarta yang merangkum makna AGNI-UDAKA-MARUTA (AUM). Merapi melambangkan unsur api atau agni. Merapi memiliki hakekat vertikal manembah kepada Yang Transenden. Sehingga Merapi bermakna sebagai jagad alit. Spiritual adalah urusan pribadi dalam jiwa masing-masing orang (mikrokosmos). Kraton adalah sentral atau pancer (guru sejati) yang meliputi pancer di dalam jagad alit (mikrokosmos) maupun pancer di dalam jagad ageng (makrokosmos). Laut Kidul adalah bermakna spiritual horisontal. Sedangkan Kunci gunung Merapi ialah pemegang amanat yang harus memiliki lakutama (budi pekerti luhur) sebagai penghubung antara jagad alit dengan jagad ageng. Dalam dirinya ada naar atau agni harus teratasi dengan nur atau cahyo sejati. Juru kunci bertanggungjawab menselarasakan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Oleh sebab itu jika juru kunci tidak mengenal alam dengan seluruh makhluk isinya akan berakibat fatal. Dapat terjadi disharmoni antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Tentu saja kekuatan alam yang akan bekerja sesuai koridor keadilannya.
GAIB TAK PERNAH BOHONG
Jika ada yang bilang gaib dapat berubah-ubah, kamuflase, dengan target untuk mengecoh pemahaman manusia, itu bukanlah kesalahan gaib, melainkan kebodohan unsur “ke-aku-an” dalam diri manusia. Yang selalu dilimput oleh imajinasi dan ilusi belaka. Senin tanggal 25 Oktober 2010 kami siap berangkat ke Balikpapan. Sejak hari Sabtu maskapai mengirim sms pemberitahuan pesawat akan didelay selama 1,5 jam. Pada hari Senin sore kami check in, kemudian bayar airport tax, dan masuk ke boarding room. Menunggu pesawat yang akan membawa kami ke Balikpapan. Jam keberangkatan tinggal 15 menit lagi, boro-boro petugas bandara mengumumkan para penumpang segera naik pesawat. Info jam berapa pesawat pengangkut kami akan tiba di bandara saja tak ada kabarnya. Hari menjelang petang, kami mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan.
Pada saat terasa bosen menunggu pesawat, datanglah YM Sultan Sulaiman,”..nak…batalkan saja keberangkatan ke Balikpapan. Jangan sanyang uangnya yang hangus. Para leluhur juga tidak memperbolehkan berangkat saat ini. Tunda lah sejenak nak ! YM Sultan memerintahkan supaya hari Selasa Pahing besok tgl 26 Oktober 2010 marak sowan (ziarah) ke pasarean agung Kotagede, sowan Panembahan Senopati karena akan diberikan “sesuatu”. Berarti musti membatalkan tiket pesawat. Sendiko…terpaksa bagasi saya ambil kembali, tiket pun ditukar untuk jadwal hari rabu besok.
Besoknya, hari Selasa Pahing tanggal 26 Oktober 2010, kami marak sowan ke Panembahan Senopati, Nyi Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Kali ini, perintah langsung dari Panembahan Senopati, dan juga perintah dari YM Sultan Sulaiman supaya sore itu pula berangkat naik Merapi ke dusun Kinahrejo rumah Mbah Marijan untuk berbagai sembako, makanan, minuman, kepada para pengungsi di sana. Ternyata sinkron dengan kejadian malam Selasa Pahing, di mana beberapa hari sebelumnya hati ini merasa tak enak, risau, khawatir campur takut jika mengingat sosok Mbah Marijan. Ada apa gerangan? Hal ini dipertegas pada malam Selasa, di mana “badan alus” mbah Marijan datang menemuiistri saya, Mbah minta supaya dimintakan uang Pak Isran (Bupati Kutim) sebanyak Rp. 700,- Kami akan turuti keinginanmu Mbah!. Uang pun segera saya dapatkan langsung dari Pak Isran. Bukankah Rp. 700,- di depannya ada unsur angka 7 (Jawa; pitu) bermakna nyuwun pitulungan (minta pertolongan) dumateng Gusti Mahawisesa. Pertolongan yang berkelipatan ratusan kali. Entah..pertolongan dalam wujud dan makna yang bagaimana, menjadi teka-teki besar.
PERINGATAN KI JURUTAMAN
Selasa Pahing sore tanggal 26 Oktober 2010 setelah selesai kami marak sowan Panembahan Senopati di pasarean Agung Kotagede, jam 16.00 WIB kami berlima berangkat menuju rumah Mbah Marijan dengan tujuan untuk berbagi sembako, oleh-oleh makanan ringan, dan menyerahkan uang Rp.700,- sesuai permintaannya. Jogja masih cerah, tetapi begitu memasuki Jl Kaliurang KM 14 cuaca di sekitar Merapi berubah diselimuti kegelapan seolah menyembunyikan sesuatu. Pukul menunjukkan 16.30 WIB suasana terasa misterius dan mencekam, tiba-tiba menjadi sangat gelap seperti sehabis magrib. Lalulintas menuju Kaliurang macet, padat merayap. Sesampai di Umbulharjo Kec Hargobinangun, jalan menuju Mbah Marijan sudah ditutup rapat oleh aparat. Tak ada lagi kendaraan boleh naik. Tapi kami merasa ada beban batin yang sangat berat jika gagal naik bertemu Mbah Marijan. Lalu saya bilang ke aparat mau mengantarkan pesanan Mbah Marijan dan menjemput Mas Asih putra Mbah Marijan, dan lajulah kendaraan mendaki jalan aspal tanjakan terjal menuju Kinahrejo rumah Mbah Marijan yang jauhnya masih 2 km, atau kurang dari 4 km dari kawah Merapi. Asap sulfatara mulai tercium menyengat, campur aduk antara aroma belerang, mesiu, infus, bau seperti asap ledakan petasan sudah sangat keras menyengat lubang hidung membuat nafas terasa sesak. Di tengah jalan kami sempat diberi peringatan oleh Ki Jurutaman, penjaga gaib Gunung Merapi dari sisi Jogja. Ki Jurutaman menjulurkan telapak tangannya. Lima jari yang terjulur kami maknai dengan dua peringatan. Pertama, mencegah supaya jangan naik karena sangat berbahaya. Kedua, jika nekad naik pun sampai rumah Mah Marijan hanya diberi waktu 5 menit. Baiklah Ki… saya berterimakasih atas peringatan yang diberikan.
PERTEMUAN TERAKHIR
Sesampai di rumah Mbah Marijan, begitu pintu mobil terbuka terasa hawa agak panas dengan bau belerang, infus, messiu dan sangit. Saat itu sempat terdengar sekali dentuman menggema cukup menggetarkan tanah. Kami berlima berbegas segera menurunkan barang-barang bantuan pengungsi. Masuk ke ruang tamu ada Mbah Marijan menyambut, tetapi hanya sedikit canda tawa, tidak seperti biasanya walaupun dalam sikond yang genting. Kali ini tampak wajah agak pucat dan sedikit menampakkan kegelisahan mendalam. Kami menurunkan sembako, kue, biskuit dll agar bisa digunakan bilamana diperlukan bersama penduduk setempat pada saat situasi darurat. Mbah Marijan berucap yang mengandung firasat,”wah..kok kathah sanget mangke mboten wonten ingkang nedhi”. Duh kok banyak sekali nanti tak ada yang makan. Saya jawab,”nanti Mbah bakal banyak kedatangan tamu”.
Berikut ini translate dialog bahasa Jawa saat-saat terakhir bersama Mbah Marijan di rumahnya Dsn Kinahrejo kurang dari 4 km dari kawah Merapi.
Mbah Marijan (MM)
Saya dan Istri (S)
S; Mbah…… saya ke sini untuk menyerahkan uang yang Mbah Marijan minta tadi malam sebanyak Rp. 700,- sesuai permintaan Mbah. Pitung-atus gelo Mbah, supaya mendapat pitu-lungan (pertolongan).
MM; O inggih matur sembah nuwun. Lha pitulungan saking sinten ?
S; Pitulungan saking Gusti sing nggawe urip Mbah !
MM; Inggih kula tampi matur nuwun. Uang receh Rp.700,- dalam amplop dipegang-pegang. Mbah panggil anak menantunya, “Mur… iki (uang Rp.700,-) wenehno mbah putri wae !.
S; Lho Mbah…(uang) niku kangge Mbah, lak panjenengan wau dalu to sing nyuwun piyambak. Duwite receh dilebokne sak mawon Mbah. (Lho Mbah, uang itu untuk Mbah, bukankah mbah tadi malam yang meminta sendiri. Uang receh 700 rupiah (logam) itu dimasukkan saja di saku, jangan diberikan kepada siapa-siapa). Mbah Marijan cuma tersenyum sambil ke tiga jarinya menutupi mulut, dengan gayanya yang kocak. Namun uang 700 rupiah tetap di serahkan kepada mBak Mur (menantu perempuan Mbah Marijan) minta supaya diserahkan kepada Mbah Marijan Putri.
Sejenak kami diam tak bereaksi apapun, hanya tercenung dalam batin penuh rasa khawatir kepada Mbah Marijan. Pada saat hening pukul 17.45 WIB tiba-tiba terdengar lagi dentuman keras berasal dari arah kawah Gunung Merapi yang hanya berjarak kurang dari 4 km (areal berbahaya berjarak sampai radius 10 km dari kawah). Tak lama hawa terasa berubah begitu sesak, bau udara tiba-tiba seperti bercampur asap mesiu terakar, belerang, dan infus lebih kuat dari sebelumnya.
TAMU TERAKHIR YANG HIDUP
Di ruang tamu tinggal kami berlima, dengan Mbah Marijan dan (Mas Iwan) satu orang wartawan Vivanews. Istri saya berkata kepada Mbah Marijan yang terakhir kalinya;”Mbah..bener enggak mau turun bersama kami? Mbah Marijan menjawab,”..o injih..mangke Jam 12 malam”, sergahnya. (Ya, nanti jam 12 malam!). Tiba-tiba Ki Jurutaman datang lagi, dan hanya berucap singkat,’mandap sakniki ! Injih ! (turunlah sekarang juga!). Rokok yang hampir saja saya nyalakan langsung saya matikan. Istri saya bilang, sekarang juga kita turun, waktunya 5 menit !! Tanpa berlama-lama lagi, kami berlima pamitan Mbah Marijan yang saat itu mengenakan kemeja batik kuning gading dengan motif berwarna hijau dan hitam dan mengenakan sarung kotak-kotak hitam bitu putih.
PERCAKAPAN TERAKHIR
S; Kalau begitu saya harus turun sekarang Mbah !!
MM; Waduh…lha kok Cuma seperti mimpi. Mbok nanti…temani saya dulu.
S: Maaf Mbah…tempat ini tidak akan selamat…Ki Jurutaman sudah menyuruh kami turun. Ayolah Mbah.
MM; Mbah Marijan hanya tersenyum kecil dan merangkul saya…
S; Dalam hati saya seperti mau menangis…saya merasa kuat sekali ini akhir dari pertemuan kami. Akhir dari sejarah “persahabatan lahir” kami dengan Mbah Marijan. Serasa ada yang berhenti di kerongkongan. Saya tak tega melihat wajah Mbah Marijan. Saya hanya bisa mengelus punggungnya sambil berkata,”…Mbah…awake dewe donga-dinonga andum slamet nggih !!! Mengko bar Merapi rampung hajate, tak anter makanan sing enak kangge Mbah Marijan. (Nanti setelah Merapi hajatnya selesai, akan saya kirim makanan yang enak untuk Mbah Marijan).
S; Saya salami dan ajak seorang wartawan,”Mas…ayo ikut turun sekarang..tak akan selamat di sini !!. Ia hanya tersenyum kecil dan menunduk. Saya tak ada waktu berlama-lama.
MM; Di luar masih banyak orang ada sekitar 9 mobil parkir di halaman rumah Mbah Marijan. Mbak Mur..menantu Mbah Marijan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tamu…,”Mbah…ayo keluar sebentar saja ! Sebentar saja ! Mbah Marijan ikut keluar bersama Mbak Mur. Keluarga Mbah Marijan yang lainnya sudah dibawa mengungsi semua.
S; Di halaman ada 8 mobil tersisa. Ternyata 7 mobil adalah tamu Mbah Marijan yang baru datang. Mbah Marijan tak mau menemui tamu lagi. Ia ngeloyor ke masjid tak jauh dari rumahnya. Istri saya terpaksa menyuruh para tamu yang baru datang untuk segera turun lagi karena sudah sangat berbahaya.
EVAKUASI DIRI
Para tamu dengan 7 mobil akhirnya turun bersama-sama melalui jalur bawah. Sempat mengantri untuk keluar dari halaman. Saya ambil jalur yang naik ke arah Merapi, karena tak ada satupun kendaraan yang melewati sana. Di dusun paling tinggi dan paling dekat dengan Merapi yakni Blimbingsari sudah tak ada lagi orang tersisa. Sepi sunyi kabut asap sulfatara sangat tebal dan begitu mencekam. Nafas menjadi sesak. Kap mesin mobil sudah mulai kejatuhan kerikil dan pasir vulkanik. Tapi kendaraan kami tak bisa laju karena terhalang asap tebal. Pasrah. Tanah seperti bergetar bagaikan irama telapak kaki raksasa. Benar saja..di belakang kami ada Ki Jurutaman mengiringi langkah evakuasi kami. Wajar saja, Ki Jurutaman tingginya sekitar 10 meter dengan tubuh tegap dan wajah yang lumayan cakap. Setelah tersendat karena pandangan jalan kadang tak tampak, sementara sebelah kanan dan kiri ada jurang, kami terpaksa berjalan sangat lambat. Di bawah tampak orang berlarian..sementara mobil-mobil dan truk evakuasi penuh penumpang melaju ke bawah menjauhi Merapi dengan kecepatan tinggi.
Sesampai di bawah bertemu Posko Pertama hanya ada para petugas tim SAR, tentara dan aparat keamanan yang sudah siap evakuasi diri pula. Sampai di Posko pertama (8 km dari Merapi) kira-kira hanya 15 menit sejak meninggalkan rumah Mbah Marijan, kami mendapat bayangan gaib, dusun Kinahrejo tempat rumah Mbah Marijan berada telah di sapu awan panas hingga porak poranda. Jika dicocokkan waktunya ternyata tepat dengan kejadiannya.
JANJI KI JURUTAMAN
Banyak orang yang mengaku bersahabat dengan Merapi. Tetapi ironisnya, ia tak kenal dengan Ki Jurutaman. Padahal Gunung Merapi dengan penjaga gaibnya bernama Ki Jurutaman adalah dua makhluk tuhan yang bisa dipisahkan. Ki Jurutaman dulunya adalah abdi dalem (pembantu) setia Panembahan Senopati (1550-1630) yang secara tak sengaja makan “telur jagad” dari Kanjeng Ratu Kidul sehingga tubuhnya berubah menjadi tinggi dan besar. Entah sejak kapan tepatnya, kemudian Ki Jurutaman diutus menjadi menjaga Gunung Merapi agar supaya letusan tidak mengenai wilayah (Kraton) Jogjakarta. Sejak tahun 1600 terbentuklah perbukitan di lereng Merapi sebelah selatan. Dinamakan glacap gunung atau punggung gunung. Masyarakat kemudian memberi nama sebagai GEGER BOYO (punggung buaya) karena memang bentuknya mirip dengan punggung buaya. Geger boyo ini nyambung dengan bukit Turgo yang juga berfungsi sebagai penahan guguran lava pijar ke arah Jogja.
Namun seperti di tulis dalam serat Jongko Joyoboyo, bahwa kelak Ki Sabdopalon dan Ki Noyogenggong berjanji akan datang kembali untuk memberi pelajaran bagi orang Jawa (nusantara) yang hilang kejawaannya (tidak memahami jati diri bangsanya). Tanda kedatangannya antara lain runtuhnya GEGER BOYO Merapi. Sebelum tahun 2006 abu vulaknik Merapi tak pernah mencapai kota Jogja. Namun sejak tahun 2007 debu vulkanik benar-benar mulai dapat menjangkau kota Jogja (Jalan Gejayan). Peristiwa itu benar-benar terjadi hanya sepekan setelah gempa Jogja pada 27 Mei 2006 yang lalu.
PERTEMUAN PERTAMA DENGAN KI JURUTAMAN
Pada bulan November 2005 kami pertamakalinya bertemu dengan sosok Ki Jurutaman sewaktu berlibur di Kaliurang. Ki Jurutaman sudah hidup di alam sejati, ia tahu mana yang bener dan pener. Setiap apa yang dikatakannya begitu bijaksana dan penuh kandungan makna kehidupan yang sangat dalam.
Hanya sebatas perkenalan dan sempat kami berbincang singkat dengan Ki Jurutaman. Saya mendapat kesimpulan bahwa Ki Jurutaman sudah berusaha untuk bersabar selama ratusan tahun, tapi kini ia telah sampai pada patas akhir dari kesabaran. Selaras dengan komando Ki Sabdopalon dan Noyogenggong bahwa kini saatnya manusia Jawa sudah harus diberi pelajaran. Maka Ki Jurutaman pun telah enggan menjaga Jogja dari letusan Gunung Merapi karena kecerobohan ulah manusia sendiri. Masyarakat telah melanggar wewaler atau pantangan. Melanggar wewaler sama halnya merusak keharmonisan kosmologis, alias bertentangan dengan hukum alam yang seharusnya manusia saling menabur welas asih dan saling menghargai kepada seluruh makhluk tanpa kecuali. Banyak orang mabok agomo lan donga, tidak memahami hakekat sejatinya hidup. Sudah banyak yang kajawan, hilang hakekat kejawaannya. Ki Jurutaman hanya bilang ,”…wis mongso bodo-a ngger ! Sudahlah…terserah kalian saja aku nggak bisa menjaga lagi. Bebendu pasti akan datang tanpa bisa dicegah, kecuali yang selalu eling dan waspada. Orang-orang yang setyo budya, selalu ngugemi paugeran. Itulah wong-wong kang kenceng anggone gocekan waton. Kapan bebendu bagi masyarakat Jawa yang telah berkhianat (durhaka) kepada alam dan para leluhurnya sendiri, yakni dimulai dengan lindu gede (gempa besar) dengan tumbal ribuan nyawa.
Benar saja, tanggal 27 Mei 2006 gempa dahsyat menghancurkan wilayah Jogja, Klaten, Sleman, Bantul, sebagian wilayah Kulonprogo, Gunung Kidul dan sekitarnya. Sebanyak hampir 8000 nyawa melayang dalam waktu hanya 15 detik.
KI JURUTAMAN SANG PENYABAR
Telah sekian lamanya Ki Jurutaman memendam rasa kecewa. Baik terhadap Kraton yang melanggar paugeran. Bukankah ada paugeran bahwa Ratu Gung tak boleh jadi walang kaji. Tetapi kenyataannya telah terjadi pelanggaran itu. Apalagi syarat utama seorang JURU KUNCI adalah harus kenal, bisa srawung, dengan penjaga gaibnya. Adalah salah kaprah anggapan orang bahwa Juru Kunci Merapi adalah orang yang menjadi penjaga Merapi. Bukan itu maksudnya. Juru Kunci adalah ibarat “penyambung lidah” antara masyarakat gaib dengan masyarakat wadag. Bagaimana bisa terjadi komunikasi yang harmonis bila seorang Juru Kunci tidak mengenal dengan pimpinan masyarakat gaib. Padahal masyarakat gaib adalah tetangga kita di manapun berada yang harus kita hargai sebagai sesama mahluk hidup. Manusia mendem agomo terbiasa nglakoni mentang-mentang merasa paling, sehingga tanpa disadarinya ucapan, sikap dan perbuatannya terkadang sangat melecehkan masyarakat lain dimensi. Inilah sumber malapetaka, berasal dari sikap adigang adigung adiguna manusia sendiri. Banyak orang tak tahu apa-apa tetapi merasa dirinya tahu segala hal, sehingga mudah sekali mendiskreditkan orang lain. Salah dianggap benar, benar dianggap salah. Terjadi wolak-waliking jaman.
Sekian lama Ki Jurutaman menjadi obyek penderita dan selalu bersabar. Semakin luntur rasa welas asih masyarat karena terkena dampak berbagai doktrin dan dongeng. Dan saat ini Ki Jurutaman telah tak mampu lagi menahan kesabarannya. Ki Jurutaman marah besar. Hingga mengerahkan ribuan Banaspati bersama serangan awan panas dan lava pijar, yang meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya. Ia tidak lagi mau menjaga (Kraton) Jogja dan masyarakat kereng Merapi dari letusan Gunung Merapi. Tanggal 29 Oktober 2010 hari Sabtu dini hari (jam 00.45 wib) Merapi kembali meletus lebih dahsyat selama 30 menit lebih. Abu vulkanik benar-benar membuat sejarah baru mencapai kraton Kraton dan wilayah kota Jogja, bahkan hingga mencapai laut selatan. Ini kejadian yang sangat langka, jika tak bisa dikatakan belum pernah terjadi. Sekaligus menjadi peringatan besar, sekaligus sebagai bahasa alam yang mengisyaratkan teguran terhadap sikap dan kebijaksanaan manusia yang semakin ceroboh dan kacau. Di mana sikapnya menjadi cerminan akan rendahnya kadar kesadaran spiritual manusia.
PERTEMUAN DUA KEKUATAN BESAR
Makrokosmos adalah makhluk hidup pula. Atau setidaknya pernah hidup dan kini hidup dalam fase-fase selanjutnya. Apapun wujud makhluk, jika manusia mensia-siakan, pastilah akan menuai celaka. Hari Jumat tanggal 29 Oktober 2010 setelah saya mengantar pulang Pak Bupati Bulungan ke Bandara Adisucipto, sewaktu pulang di tengah jalan melihat naga bumi yang bagi masyarakat umum sekilas tampak seperti awan berbentuk naga. Naga bumi dengan mulut menganga dan bertanduk, bergerak cepat dari selatan (laut kidul) ke arah utara bersatu dengan awan raksasa yang berada di samping Merapi. Peristiwa ini hanya terjadi sekitar 5 menit dengan disaksikan semua orang yang berada di dalam kendaraan kami. Setelah itu muncul awan pertanda akan terjadi bencana besar dengan korban yang cukup besar pula. Jika disimpulkan, dua kekuatan besar yakni dari laut selatan (naga bumi) dan gunung berapi (baru-klinting di bawah komando Ki Jurutaman) bergabung untuk membangun kekuatan besar yang dapat menggegerkan jagad Jawa. Awan yang mengisyaratkan bencana dengan korban banyak masih akan terjadi. Dengan kata lain 38 nyawa korban Merapi belumlah cukup.
Saat itu Ki Jurutaman sempat memberikan sinyal yang dapat kami tangkap seperti di bawah ini ;
- “Hajatan” Gunung Merapi sebagai ekspresi kemurkaan Ki Jurutaman atas penghianatan manusia Jawa, yang telah hilang kejawaannya. “Hajatan” akan berlangsung selama 35 hari. Terhitung sejak hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010.
- Kemurkaan Ki Jurutaman adalah hukum keseimbangan alam di mana telah terjadi ketidakselarasan antara “langkah” manusia dengan “hukum alam semesta”.
- Terjadi ketimpangan “karakter”, perilaku, behavior, antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Sehingga terjadi kondisi di mana terdapat kecenderungan antagonis antara wujud alam yang berbeda namun unsurnya berasal dari materi yang sama.
Bergabungnya dua kekuatan besar tentu akan membawa karakter berbeda dari letusan-letusan Merapi sebelumnya. Merapi memang selalu menyimpan beribu misteri. Kraton Jogja pun sebagai soko guru spiritual kosmologis keadaannya kian terpuruk. Walaupun seandainya menyadari apa yang terjadi dan tahu harus bagaimana. Toh jika memberikan perintah kepada masyarakat pun tak digubris. Dalam kondisi alam seperti ini, jikalau masyarakat diperintah untuk selalu membuat teh dan kopi tubruk setiap hari dan disajikan di ruang tamu mungkin dianggap sia-sia. Sebagian masyarakat malah menganggapnya sebagai tahyul dan mitos belaka seperti ungkapan presiden SBY tempo hari. Anda percaya atau tidak, musibah dan bencana baru akan reda jika SBY turun tahta. Silahkan ditunggu, dan dicermati, agar bisa membuktikan ucapan ini. Toh paling lama, tahun 2012 SBY akan lengser keprabon.
SOSOK MISTERIUS
Selain unpredictable, kali ini Merapi merubah karakter tidak seperti biasanya. Setiap Gunung Merapi mau meletus selalu menyelimuti dirinya dengan awan dan mendung. Awan pun selalu menyebar ke segala penjuru. Sehingga puncak Merapi tak dapat diamati dengan mata wadag. Arah guguran lava pijar dengan tebaran abu vulkanik sulit diprediksi dengan berbagai teknologi canggih. Kadang terjadi kontradiksi di antaranya. Guguran lava mengarah ke selatan, tetapi abunya ke utara dan timur. Sementara angin yang bertiup dari arah timur dan selatan. Tahu-tahu awan panas menyapu beberapa wilayah dengan kecepatan tinggi. Satu jam sebelum meletus, bahkan Merapi tampak sangat tenang. Bahkan seringkali tidak didahului tanda meningkatnya gempa vulkanik terlebih dulu sebelum meletus.
Lain dari letusan-letusan sebelumnya, bagi masyarakat awam kali ini terdapat keanehan, setiap yang dilewati tidak sekedar hangus, namun porak poranda, rumah-rumah hancur lebur, pohon-pohon besar dan kecil tumbang. Namun selalu saja, pendapa tempat acara ritus sakral yang hanya berjarak 1 km di bawah kawah Merapi tetap utuh dan selalu terjaga dari terjangan awan panas. Sebenarnya bukanlah hal aneh, jika anda semua berusaha konsentrasi hening batin akan menyaksikan sendiri, terjangan awan panas (wedhus gembel) bukanlah sekedar debu vulkanik berwarna coklat kemerahan dengan suhu 700-800 derajat. Namun tampak puluhan bahkan ribuan makhluk semacam banas pati (raksasa kecil dengan wujud api) yang seolah mencari mangsa dengan ganasnya.
Banaspati dari unsur api, tidak berbenturan dengan segala sesuatu unsur tanah. Bahkan unsur api hanya bisa diredam oleh unsur tanah. Makan rumus keselamatan dimaknai apabila manusia selalu eling dan waspada, dengan cara mulat laku jantraning bumi. Manusia yang membangun sifat seperti bumi. Lembah manah (rendah hati), andap asor (santun), selalu menebar berkah kepada siapapun yang ada di sekelilingnya, baik makhluk hidup, tak hidup, manusia, binatang, dan tumbuhan. Sekalipun diinjak-injak tetap saja memberikan berkah kepada seluruh makhluk tanpa kecuali dan tanpa pernah pilih kasih. Sementara itu Banaspati adalah gambaran sifat angkara murka. Sifat panasten, iri hati, buruk sangka, suka marah-marah (bahkan sampai mengklaim sebagai mewakili kemarahan tuhan). Sifat Banaspati ini akan sirna jika manusia telah menyerap sifat-sifat bumi (tanah). Itulah pelajaran dari alam semesta sebagai “ayat-ayat” yang tersirat, disebut sebagai sastrajendra. Papan tanpo tulis. Ilmu sejati yang tidak ditulis dalam buku. “Kitab universal” yang sesungguhnya dapat menjadi pegangan manusia sejagad tanpa pengecualian suku, budaya, dan agama.
Nagabumi adalah makhluk tuhan retasan alam semesta juga. Mereka mewakili unsur bumi, karena memang hidupnya menyatu di dalam kedalaman tanah. Nagabumi dapat mewakili ketidakterimaan alam semesta atas ulah manusia yang begitu cerobohnya, sehingga jebol lah lumpur Lapindo di Sidoarjo akibat amukan Nagaraja (jantan) karena tidak terima Nagagini (betina) tertancap mata bor pada saat pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas. Nagabumi adalah bagian dari “masyarakat” Kraton Pantai Laut Selatan, yang dipimpin oleh entitas widodari yang turut menjaga keseimbangan makrokosmos. Di Gunung Lawu sana ada entitas bidadari pula yang selalu ngrekso hargo bernama Dewi Untari atau Dewi Nawang Sari anak putrinya Dewi Nawang Sih. Tentu saja, hal-hal sepeti ini bagi yang tidak pernah menyaksikan kebesaran gaib seolah hanya sekedar dongeng kibulan.
Kini nagabumi dan banaspati telah bergabung melakukan show off force. Paling tidak berbagai peristiwa ini dapat menyadarkan diri kita bahwa kita bertetangga dengan ragam kehidupan yang sangat kompleks. Jadi jangan lah mentang-mentang selalu RUMONGSO BISO. Tetapi jadilah manusia yang BISO RUMONGSO.
TAHYUL ITU APAKAH SEPERTI INI
Selama kurang dari seminggu Merapi tiap hari meletus. Tiga kali pula dalam seminggu, kami harus relakan tiket hangus karena membatalkan keberangkatan menuju Kaltim untuk laksanakan tugas dan pekerjaan berat. Akhirnya, pada hari sabtu malam minggu, salah satu leluhur Ki Ageng Mangir Wonoboyo sehabis menggembleng cucu canggahnya di puncak Merapi yang masih sangat panas itu, beliau sekalian bertemu Ki Jurutaman. Mbah Mangir minta supaya Ki Jurutaman meredam Merapi sejenak, karena anak turunku mau pergi ke Kaltim, jangan sampai ada abu dan awan panas yang menganggun perjalanan (pesawat) menuju Kaltim. Kata Mbah Mangir, tadi Ki Jurutaman sudah bilang sendiko dawuh. Kata Ki Jurutaman, meletus yang lebih besar lagi nanti setelah kembali di Jogja lagi. Kenapa begitu, karena biar konsentrasi kami pada acara besar di Kaltim tidak terganggu. Karena kalau Merapi meletus besar kami selalu memikirkan nasib dan keselamatan sanak sodara, handai taulan, teman yang berada di Jogja. Mudah-mudahan perjalanan besok pagi (Senin 1 November 2010) benar-benar terlaksana tidak terancam batal lagi.
Wah, kirain dongeng atau khayalan tahyul saja. Ternyata gaib memang tak pernah bohong. Begitu mendarat di Sepinggan Balikpapan jam 11 Wita (jam 10 Wib), sebentar kemudian dengar kabar Merapi meletus cukup besar jam pada jam 10.05 Wib. Hari Rabu 3 Nov kami harus segera kembali ke Jogja. Turun dari pesawat jam 10.30 Wib. Tak lama kemudian jam mulai 11 status Merapi kembali mengalami krisis hingga terjadi letusan dengan skala 3 kali lebih besar dari pada hari selasa 26 Oktober kemarin. Masih beruntung, hujan lebat mengguyur seputar Merapi hingga di daratan menimbulkan banjir lahar dingin yang mengerikan. Sementara di atas sana beterbangan awan panas yang tengah mencari mangsa. Matur sembah nuwun Ki Juru.
Apa kata Ki Jurutaman? Ia bilang letusan Merapi masih lama baru akan berhenti. Setidaknya akan memakan waktu selapan dino (35 hari). Meletus dahsyat tanpa bisa disaksikan dengan mata wadag. Merapi tidak lagi seperti dulu suka pamer lava pijarnya yang sangat indah sekaligus mengerikan. Kini Merapi selalu membuat “serangan” secara tersembunyi di balik mendung dan kabut tebal. Melalap ke segala penjuru. Sepertinya, erupsi kali ini benar-benar merepresentasikan batas kesabaran alam yang telah sekian lamanya dipertahankan. Bagaimanapun juga Ki Jurutaman adalah entitas manusia, yang kesabarannya masih ada batasnya. Siapakah yang keterlaluan? Tentu saja bukan Ki Jurutaman, melainkan ulah manusia yang memang sudah benar-benar di luar batas peri kemanusiaan. Baik pejabat, tokoh masyarakat, tokoh religi, maupun rakyat jelatanya. Ini baru permulaan. Oleh sebab itu, tak lama lagi si komandan gunung api akan melakukan letusan jauh lebih dahsyat lagi. Jangan kaget jika sudah tiba waktunya, radius 30 km pun bukan merupakan daerah aman dari terjangan awan panas. Saat kami menulis kisah ini, tercium bau bangkai dan darah yang gosong terbakar. Bau-bau misterius mirip seperti saat 1 jam menjelang dusun Kepuh Harjo, Kinah Rejo, Blimbing Sari sebelum luluh lantak diterjang awan panas. Semoga bau ini bukan lah pertanda Merapi masih akan makan korban lebih banyak lagi.
FENOMENA AWAN PETRUK
Petruk adalah salah satu Punakawan. Di antara para punakawan yang lain misalnya Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Setelah sesepuh Punakawan Ki Lurah Semar (Ki Sabdopalon) moksa karena enggan mengikuti perpindahan kepercayaan rajanya Brawijaya V. Lantas sebelum moksa Ki Lurah Semar berjanji kelak setelah 500 tahun lebih sedikit (terhitung sejak abad 15) akan “menagih janji” untuk mengembalikan kejayaan nusantara seperti pada masa kejayaan Majapahit. Diyakini Petruk Kanthong Bolong adalah sang punakawan yang akan datang “menagih janji” kepada para pemimpin dan nusantara.
SUMATERA BELUM USAI BERDUKA !
Teruntuk para sedulur berada di wilayah Sumatra Barat sana. Gempa dan stunami Mentawai barulah sekedar warning atau peringatan dini. Seperti sudah ada dating saja sebelumnya. Selasa Pahing tanggal 26 Oktober 2010 adalah waktu yang hampir bersamaan meletus lah Merapi di Jogja-Jateng dan gempa-tsunami di Mentawai. Kami tetap selalu memohon dan melakukan ritual sebisa kami lakukan untuk keselamatan kita semua di negeri ini. Semoga gempa dan tsunami sudah tidak akan menyapu wilayah Sumatra Barat. Dan Merapi tidak meletus lebih besar lagi. Walau harus ku akui, sangat terasa permohonan kami begitu hambar. Karena sulit sekali menutup gejolak perasaan hati ini. Puncak bencana belumlah berakhir. Nuwun sewu saya harus sejujurnya mengatakan,“apalagi selama pak presiden masih duduk di tahta nusantara. Para leluhur dan masyarakat gaib pun telah enggan. Maaf kata, bahkan restu leluhur pun hanyalah dianggap tahyul. Nah..inilah kekalahan manusia dari insting binatang yang lebih tahu tentang kearifan lokal. Kesadaran manusia masih dibawah kesadaran kosmos para sedulur binatang. Binatang tahu kapan Merapi akan meletus. Kapan akan terjadi gempa dan tsunami. Binatang lebih tahu kapan mereka harus turun menjauhi kawah Merapi, atau harus lari ke bukit menjauhi hempasan gelombang tsunami. Mari kita berguru saja kepada binatang.
Source: sabdalangit.wordpress
0 komentar:
Posting Komentar